Menurut Direktur Eksekutif Save Our Borneo [ SOB ], Nordin, sekitar 80 persen kerusakan hutan yang terjadi di Kalimantan disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan besar. Sedangkan 20 persen sisanya disumbang oleh ekploitasi Pertambangan dan area transmigrasi.
Berdasarkan prediksi tren 10 tahunan, dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektare, laju kerusakan hutannya (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektare setiap tahunnya atau 2,16 persen.
Menurut Nordin, Provinsi Kalimantan Tengah memiliki laju kerusakan hutan terluas dibanding tiga provinsi lain di Kalimantan, yakni mencapai 256 ribu hektare per tahun. Dari 10 juta hektar luas hutan yang dimiliki Provinsi Kalimantan Tengah, laju kerusakan kawasan hutannya mencapai sekitar 2,2 persen per tahun.
Sementara Provinsi Kalimantan Selatan, memiliki laju kerusakan hutan yang paling cepat dibanding tiga provinsi lain di Kalimantan. Tercatat seluas 66,3 ribu hektare hutan musnah setiap tahunnya dari total luas wilayah hutan yang dimiliki Provinsi Kalimantan Selatan sekitar 3 juta hektare. Penyebab utamanya karena pembukaan pertambangan Batubara dan Perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit.
Nordin menjelaskan, kegiatan eksploitasi selain mengakibatkan hutan rusak, juga berdampak pada terjadinya bencana banjir dan tanah longsor, belum lagi dampak sosial ekonomi, budaya serta dampak negatif lainnya yang dialami oleh masyarakat lokal.
Kondisi hampir serupa juga terjadi di empat provinsi di Kalimantan, dengan luas dan laju kerusakan yang berbeda-beda. Penyebab utamanya tak lain juga karena masuknya perusahaan-perusahaan pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Kalimantan Barat misalnya, provinsi ini memiliki luas wilayah hutan mencapai 12,8 juta hektare, laju kerusakan hutannya mencapai 166 ribu hektare per tahun atau 1,9 persen dari total luas wilayah hutan yang dimiliki.
Dampak negatif lain dari eksploitasi hutan secara besar-besaran adalah hilangnya identitas masyarakat setempat. Masuknya budaya luar yang dibawa oleh masyarakat pendatang yang dipekerjakan dalam kegiatan perkebunan maupun pertambangan, secara nyata telah mengakibatkan lunturnya nilai-nilai budaya dan tradisi kearifan lokal. Masyarakat lokal kini menjadi sangat tergantung dengan pihak luar. Ketergantungan dengan pihak luar itu dikarenakan lahan yang menjadi alat produksi utama masyarakat lokal kian menyempit, sehingga mereka menjadi tergantung dengan pihak luar, tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar