16 Okt 2022

Program Strategis Nasional Food Estate berpotensi gagal, Siapa paling di untungkan?

 Catatan Maret 2021; 

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 3 Maret tahun 2021 Perkumpuan Sawit Watch mengadakan sebuah diskusi tematik yang dilaksanakan secara daring. Kebetulan saya diminta menjadi salah satu pembicara/ narasumbernya bersama-sama dengan bang Ridwan Samosir dari Yayasan Petrasa dan Bang Fathurohman seorang pemerhati lingkungan di Kalteng. Selain kami bertiga, webinar itu juga menghadirkan beberapa tokoh sebagai penanggap, diantaranya Pak Agustinus Teras Narang, anggota DPD RI dari Kalteng, Bapak Muhammad Wahyu Agang, S.Hut,  M.P tim ahli KLHS Food Estate dan juga Pendeta Jimmy Sormin, M.A,  dari Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja Indonesia.

Acara ini sangat berkesesuaian dengan temuan terbaru Save Our Borneo bersama rekan-rekan media yang terus melakukan pemantauan/ monitoring diwilayah-wilayah yang dikembangkan dalam PSN-Food Estate di Kalimantan Tengah, dan didapati informasi adanya kegagalan pencapaian produksi padi di wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan pengembangan komoditas singkong di wilayah Kabupaten Gunungmas Provinsi Kalimantan Tengah, walau hal ini dibantah oleh Kementerian Pertanian dan beberapa pihak lainnya. 

Dalam kesempatan itu kemarin saya menyampaikan beberapa hal terkait temuan hasil monitoring reguler yang kami lakukan, pada intinya pendapat saya masih sama sejak awal program ini akan dilaksanakan, bahwa jika program food estate ini terus dipaksakan maka potensi kegagalannya akan cutup tinggi, melihat pengalaman program PLG Sejuta hektar dahulu yang juga gagal total, selain karena ketidaksesuaian lahan dengan komoditas tanaman pangan yang akan dikembangkan, juga pelaksanaan proyek ini terkesan sangat dipaksakan, dan tergesa-gesa, tanpa didahului dengan kajian yang mendalam. Sejak awal kami menyatakan menolak program ini karena kami khawatir lahan-lahan terutama kawasan eks-PLG akan semakin terdegradasi, rusak dan semakin memperparah bencana (kabut asap akibat kebakaran kebakaran lahan saat kemarau dan banjir saat penghujan) di kawasan itu, kawasan gambut yang seharusnya dilakukan rehabilitasi dan dikembalikan pada fungsi alaminya, bukan justru malah dialokasikan untuk pertanian lagi.

Kanal-kanal di Lahan eks-PLG Sejuta Hektar.
doc. Save Our Borneo

Kemudian menurut saya untuk menilai proyek Food Estate ini gagal, kita bisa lihat salah satu indikatornya yakni hasil panen yang jauh dari target yang ditetapkan. Pemerintah sangat optimis menargetkan hasil panen padi 6-7 ton/Ha melalui program ini, namun realisasinya kurang dari itu bahkan untuk mencapai target yang biasa petani raih sebesar 3-4 ton/Ha saja tidak mampu. Selain itu, siklus tanam yang dirubah dengan melakukan percepatan waktu tanam untuk meraih target 3 kali panen dalam setahun juga berakibat pada gagalnya lahan garapan petani, hal ini selain tidak berkesesuaian dengan cuca diwilyah itu juga berpengaruh terhadap adanya serangan berbagai hama. 

Pembukaan Kawasan Hutan untuk digantikan dengan 
tanaman singkong di kabupaten Gunungmas. 
doc Save Our Borneo
Kemudian untuk PSN-Food Estate komoditi singkong yang sedang dijalankan di Wilayah Kabupaten Gunungmas. Wilayah yang dibuka berstatus Hutan Produksi (HP) dengan tutupan hutan masih bagus dengan potensi kayu yang cukup besar. Ketika hutan ini dibuka, yang menjadi pertanyaan kemana kayu-kayu yang memiliki nilai ekonomi ini akan dibawa? siapa yang akan mendapatkan keuntungan ini? 

Permasalahan lainnya bahwa proses pembukaan lahan yang sudah hampir 600 Ha ini tanpa didahului dengan kajian lingkungan sebagai dasar. Hingga saat ini publik bertanya-tanya bagaimana menyampaikan sejumlah persoalan atau pengaduan jika terjadi pelanggaran atau seandainya adanya kegagalan program ini. Mekanisme untuk ini yang belum ada, dan pasti penerima dampak terbesarnya nanti adalah warga sekitar. Saya pribadi melihat kawasan hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian (Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan) ini hanya akal-akal licik penguasa dan pengusaha yang tidak bertanggungjawab untuk menguasai lahan dan potensi kawasan khususnya di Kalimantan Tengah. Yang mana harusnya wilayah ini dilindungi untuk kepentingan bersama.

Kemudian setelah saya, giliran Bang Ridwan Samosir yang menyampaikan pendapatnya. Berikut pendapat narasumber dan penanggap lainnya yang saya kutip dari pers release Sawit Watch :

Ridwan Samosir, Sekretaris Eksekutif Yayasan PetrasaSumatera Utara. “Kami melakukan kunjungan ke lokasi food estate di Desa Ria-ria, Kabupaten Humbang Hasundutan. Hasil pemetaan yang kami lakukan bahwa kawasan food estate masuk ke dalam konsesi PT. Toba Pulp Lestari (TPL), dan senada dengan itu program food estate yang akan diusulkan oleh Pemerintah Daerah Kab. Dairi juga masuk ke dalam konsesi PT. Gruti. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa penggunaan lahan food estate masuk ke konsesi perusahaan besar? Ini patut dikritisi karena Sumatera Utara termasuk salah satu provinsi yang sangat rentan terjadinya konflik agraria,” ujar Ridwan.

“Selain itu, kasus yang terjadi di Humbang Hasundutan, dari 1.000 Ha program food estate, 215 Ha diantaranya diserahkan pengelolaannya kepada petani, namun sisanya akan diserahkan kepada pihak ketiga (785 Ha). Ada 10 perusahaan yang akan kemudian melakukan pengolahan ini. Jadi, kalau selama ini sumber pangan kita berasal petani, maka dengan program food estate akan ada pergeseran aktor: penyedia pangan nasional mulai dialihkan kepada industri dan korporasi,” terang Ridwan. 

“Selanjutnya, ketika program food estate berjalan maka perusahaan besar akan bersaing dengan petani lokal. Hal ini berpotensi timbulnya kesejangan antara petani lokal yang masih manual dengan korporasi yang memiliki infrastruktur dan sumber daya yang besar. Lalu, bagaimana dengan pasar? Bagaimana dengan petani lokal ketika mereka memasarkan produknya? Apakah hasil pertanian dari food estate tidak akan berdampak pada mereka? Pemerintah harus menjelaskan kepada publik khususnya kepada petani tentang akses pasar terhadap hasil produksi mereka. Pemerintah juga harus mempertimbangkan potensi perubahan dari petani mandiri menjadi buruh tani di masa depan,” tambah Ridwan.

FatkhurohmanPemerhati Lingkungan Kalimantan Tengah menyampaikan, “Dilihat dari sisi kelembagaan bahwa hadirnya food estate di dasari oleh kondisi krisis pangan akibat pandemi Covid-19, namun tidak ada kebijakan di level Kepres atau Inpres yang mengaturnya. Hal ini menurut saya merupakan masalah besar karena akan berdampak pada kerja-kerja yang terjadi parsial. Jika kita bercermin pada pelaksanaan program ini dan mengibaratkannya sebagai sebuah orkestra, maka yang muncul hanya ada suara bising cendrung gaduh semata. Hal ini karena semuanya berjalan secara parsial karena tidak ada conductor yang dapat mengatur menjadi irama yang harmonis. Di sisi kebijakan, Perda Tata Ruang Kalteng tidak menjadi rujukan dalam banyak hal termasuk program ini. Rekomendasi saya sederhana, marilah kita pertimbangkan manfaat yang lebih besar, resiko yang lebih kecil, dengan memastikan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat yang rentan terhadap dampak dari program ini, dan juga agar mitigasi berdampak efektif,” tambah Fatur. 

Pernyataan Penanggap :

Muhammad Wahyu AgangTim Ahli KLHS Food Estate Kalimantan Tengah menyampaikan bahwa “Pada dasarnya kami bersama dengan tim menjalankan proses KLHS Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan di Kalteng, sesuai dengan tahapannya berdasarkan kebijakan yang ada tentunya dengan tidak meninggalkan proses partisipatif masyarakat. Sejumlah fakta implementasi food estate di sejumlah daerah ini sangat bermanfaat bagi kami. Kami sangat terbantu dengan laporan dan data dari lapang karena dapat kami tuangkan dalam proses penyusunan KLHS. Harapannya proses deliberatif melalui KLHS ini dapat kita kawal bersama sehingga menjadi pembelajaran. Kegagalan masa lalu akan menjadi masukan bagi kita kedepan,” ujar Wahyu.

Pdt., Jimmy Sormin, M. A,  dari Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia berpendapat bahwa, “Jika benar perhitungannya program ini akan justru merugikan banyak pihak serta proses yang salah sejak awal, hulu hilirnya, kami mengkhawatirkan program ini hanya akan menguntungkan segelintir kelompok saja. Sehingga program ini hanyalah sebuah kebohongan yang akan menciptakan kebohongan lain serta menciptakan dosa berulang dengan daya rusak yang semakin bertambah. Berangkat pula dari kegagalan proyek nasional jauh sebelumnya di Kalimantan dan Papua. Melihat sejumlah persoalan ini rekomendasi kami bagi pemerintah dan pihak terkait adalah perlu untuk melihat dan mengkaji program ini, kiranya semangat ‘memberdayakan’ petani tidak berubah menjadi ‘memperdaya’ petani dan ‘memperdaya’ anggaran negara. Jika ingin menjadi bangsa ini diberkati dan program food estate ini juga diberkati, mulai dari niatan sampai dengan pelaksanaan haruslah dipenuhi dengan kejujuran dan asas-asas yang mendukung dan memuliakan makhluk dan merayakan kehidupan. Kita harus menjadi manusia utuh yang berlaku adil dan hidup dalam berkelanjutan,” terang Jimmy.

Agustinus Teras NarangSenator DPD RI Kalteng mengatakan, “Program food estate menjadi penting dan perlu untuk didukung namun dengan catatan adanya prinsip keberlanjutan didalamnya. Artinya program ini harus memenuhi aspek keselamatan ekologi, sosial budaya dan ekonomi masyarakat di lokasi pengembangannya. Selain itu, karena program ini melibatkan lintas kementerian, saya mencoba mendorong ada payung hukum yang jelas untuk mengatur semua pihak. Perlu adanya sebuah badan otorita pangan yang mengawal dan memimpin agenda ini, agar lebih dapat fokus dalam membangun sinergitas kepentingan antar kementerian, termasuk pemda dan masyarakat. Secara umum pelaksanaan program ini perlu menjadi perhatian dan dievaluasi. Saya berpandangan kita harus tetap kritis yang konstruktif tentunya serta memiliki semangat untuk membangun kepentingan dan tujuan bersama, tegas Teras.

link video kegiatan webinar ini dapat di lihat di youtube : 



Mimpi dan Relita Food Estate Kalteng

Catatan Maret 2021 : Soal FOOD Estate Kalimantan Tengah. Program ambisius Pemerintah melalui Program Strategis Nasional PSN FOOD ESTATE (PSN-FE) di Provinsi kalimantan Tengah telah sejak awal mendapat banyak peringatan dari berbagai penggiat lingkungan hidup di Provinsi ini, warning itu bukan tanpa dasar, Provinsi ini pernah mengalami kegagalan pada program serupa.

Hamparan sawah di desa Belanti siam Kab. Pulang Pisau, dikembangkan sejak talun 1980 an.. 
kini sekitar 30.000 ha sawah diwilayah ini dijadikan lokasi intensifikasi PSN-Food Estate oleh Pemerintah. Doc. Save Our Borneo

Program Pengembangan Lahan gambut 1 Juta Hektar (faktanya lebih dari 1,4 juta ha) atau lebih kita kenal dengan Mega Proyek PLG sejuta hektar. Proyek PLG sejuta hektar ini dilaksanakan atas dasar keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah, awalnya bertujuan untuk mengonversi hutan dan rawa gambut menjadi sawah guna mempertahankan swasembada pangan.
Walhasil, bukannya swasembada pangan yang didapat justru provinsi Kalteng sejak saat itu mengalami "Swasembada bencana", hilangnya tutupan hutan rawa gambut secara massive telah menyebabkan kawasan-kawasan gambut menjadi kritis, terdegradasi dan rentan terhadap bencana, banjir disaat musim penghujan dan bencana kabut asap akibat kebakaran lahan saat musim kemarau, dan itu menimbulkan trauma hingga kini.
Kembali pada PSN-FE ini, kami menemukan banyak petani yang mengalami gagal panen. Kebanyakan dari mereka mengaku megalami kerugian karena hasil panen yang defisit. Biasanya, menurut petani, dalam satu hektar hasil panen mencapai 3-4 ton. Hasil ini, sudah dikategorikan bagus atau berhasil. Sayangnya, setelah mengikuti program food estate mereka justru mengalami kerugian. Sebab hasil panen menurun dengan angka di bawah satu ton, sebagian kelompok tani ada yang mendapatkan hasil satu hingga dua ton, tetapi jarang yang menyentuh angka 3-4 ton per hektarnya.
Bahkan, yang lebih parah lagi, beberapa petani mengaku mengalami “zonk” atau sama sekali tidak mendapatkan hasil. Mereka mengaku bulir-bulir padi mereka kosong, padahal sejak awal mereka telah mengikuri anjuran pemerintah. Mulai dari jenis bibit yang dipakai, sisitem penanaman, hingga pupuk yang digunakan. Alhasil petani merugi, sementara tidak ada sistem penggantian rugi yang jelas dari pemerintah tentang gagal panen ini. Malahan, pemerintah mati-matian membantah berita-berita media tentang kegagalan program ini pada petani di Belanti Siam, baik dari pemerintah lokal hingga nasional.

Berikut adalah video pendek dengan Judul Mimpi dan Relita Food Estate Kalteng, dibuat oleh tim Save Our Borneo :



I'm Back Blogger !!!

Akhirnya.... bisa kembali ke akun blogger ini, sudah lebih 7 tahun gak pernah ditengok. Ibarat sebuah rumah, mungkin sudah penuh debu dan berbagai macam sarang bintang, laba-laba, semut, kecoa, tikus dan bahkan mungkin hantu belau berserta kawanannya. hehe :D . Oiya,  jadi selama 7 tahun ini tidak menghilang kemana-mana, masih beraktivitas diseputaran kegiatan sosial dan lingkungan hidup bersama lembaga Save Our Borneo, tetap menulis catatan walau hanya di buku jurnal sendiri.

Semoga kali ini bisa terus konsisten menulis di blog ini lagi.. Mohon do'anya.  




Anda peduli upaya penyelamatan Hak Rakyat dan Hutan Kalimantan? silahkan berikan donasi anda

www.paypal.me/SafrudinM