Secara administratif, sejak tahun 2003, Kecamatan Danau Sembuluh berada di wilayah Kabupaten Seruyan. Sebelumnya, Danau Sembuluh termasuk dalam wilayah Kabupaten Kotim. Pembentukan Kabupaten Seruyan berdasarkan UU RI No. 5 Tahun 2002 yang termuat dalam Lembaran Negara RI No. 18 tahun 2002. Kabupaten Seruyan memiliki wilayah seluas 16.404 kilometer persegi yang terdiri dari lima kecamatan dan 91 desa. Sebagian besar wilayah Kecamatan Dana Sembuluh merupakan hutan komersial, namun dalam paduserasi RTRWP yang terbaru wilayah tersebut akan dipergunakan untuk perkebunan, khususnya kelapa sawit.
Tahun 1996 pertama kali Perusahaan perkebunan sawit masuk ke Sembuluh yakni PT. Agro Indomas (PT AI). Sebelum tahun 1996, PT. AI bernama PT. Bohindomas, sahamnya dimiliki oleh tiga perusahaan Malaysia yaitu Agro Hope Sdn Bhd, Shalimar Developments Sdn Bhd, and Cosville Holding Sdn Bhd, dan tujuh pengusaha asal Indonesia.
Secara administratif, area perkebunan sawit milik PT. AI berada di wilayah desa Sembuluh I. Namun, Desa Sembuluh II dan Dusun Lampasa merupakan desa yang berada di dekat lokasi perkebunan PT. AI juga ikut terpengaruh atas hadirnya perkebunan tersebut.
Kehadiran PT. AI telah menimbulkan gejolak di masayarkat Sembuluh. Hal ini dikarenakan cara mereka mengakuisisi lahan perkebunan yang dianggap secara sepihak oleh masyarakat, PT. AI melakukan land clearing kebun dan ladang milik masyarakat dan dilakukan tanpa ada pembicaraan kepada masyarakat. Dukungan Pemda Seruyan yang besar terhadap PT. AI semakin melanggengkan Perusahaan tersebut. Pada saat itu, masyarakat belum berani melakukan demonstrasi karena dianggap berbahaya bagi negara.
Pak Wardian, Tokoh dan Pejuang Masyarakat Desa Sembuluh I dan II ( foto diatas tanah miliknya yang dirampas Perusahaan Sawit. Doc. SOB ) |
Tentang akuisisi lahan secara sepihak memang merupakan strategi yang dijalankan oleh semua perusahaan perkebunan yang ada di sekitar Sembuluh hingga saat ini. Perusahaan membuka dan menggarap lahan terlebih dahulu tanpa bernegoisasi dengan masyarakat, karena perusahaan merasa telah memperoleh izin dari Pemerintah Daerah dan terdapat anggapan bahwa hutan di sekitar Sembuluh adalah milik negara, dan bukan milik masyarakat.
Konflik Pertanahan hingga tahun 2010 ini masih sering terjadi sehubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan sumber daya alam dan hutan di Kabupaten Seruyan yang sepertinya tak pernah ada penyelesaiannya. Konflik terjadi antara pemerintah dan perusahaan pemilik konsesi versus komunitas lokal/adat.
Penulis meyakini selama Pemerintah dan pemilik modal dalam kebijakannya dan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan hutan tanpa mengindahkan sebuah sistem berlandas hukum adat yang telah ada sebelum negara Indonesia berdiri, maka konflik Pertanahan di Sembuluh ini tidak akan pernah usai.
Konflik sumber daya alam dan hutan yang berlarut-larut akan menimbulkan efek sosial, politik dan ekonomi yang merugikan dan harus sesegera mungkin dituntaskan melalui kejelasan pengaturan dan pengakuan hak kepemilikan atas lahan, baik itu wilayah hukum adat maupun wilayah hutan negara sediri.
Sudah seharusnya juga kebijakan pegelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia bertumpu pada makna pasal 33 ayat 3 UUD 45, yaitu ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. SFN_SOB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar