1.1.3.
Desa Bangkal
A.
Kondisi Geografis
Desa dengan luas 144 km2 ini sejak bulan Januari 2010
secara administrative masuk kedalam wilayah kecamatan Seruyan Raya yakni sebuah
kecamatan pemekaran dari Kecamatan Danau Sembuluh.
Desa Bangkal merupakan salah satu desa yang berada di daerah dataran rendah dan berada di sekitar Danau Sembuluh. Ketersediaan air yang cukup dan tanah yang subur sangat menunjang bagi aktivitas bercocok tanam dan perikanan. Sebagian besar wilayah desa Bangkal (± 80%) kini telah dijadikan areal perkebunan milik PBS kelapa sawit dan hanya sedikit sekali tanah-tanah yang dimiliki dan diolah oleh warga.
Desa Bangkal merupakan salah satu desa yang berada di daerah dataran rendah dan berada di sekitar Danau Sembuluh. Ketersediaan air yang cukup dan tanah yang subur sangat menunjang bagi aktivitas bercocok tanam dan perikanan. Sebagian besar wilayah desa Bangkal (± 80%) kini telah dijadikan areal perkebunan milik PBS kelapa sawit dan hanya sedikit sekali tanah-tanah yang dimiliki dan diolah oleh warga.
Desa Bangkal dengan pusat pemerintahannya terletak di titik koordinat
E 02037.184’ dan S 112025.617’ dengan jarak tempuh ± 77
km dari kota Sampit ditempuh melalui jalan darat
dengan waktu tempuh berkisar antara 1,5 – 2 jam.
B.
Keadaan
Sosial Budaya
Jumlah penduduk
Jumlah penduduk Desa Bangkal berjumlah 512 kk dan 2.830 jiwa terbagi
dalam 1.670 jiwa penduduk berjenis kelamin laki-laki serta 1.160 jiwa penduduk
berjenis kelamin perempuan [1].
Jumlah
penduduk tersebut tersebar dalam 7 (tujuh) RT, dimana 2 RT berada di simpang
Bangkal (± 12 km dari pusat pemerintahan desa) atau di km 65 jalan raya Sampit-
Pangkalan Bun dan 5 RT yang lain berada di dekat Danau Sembuluh.
Suku bangsa yang ada
Adapun ragam suku bangsa yang mendiami desa Bangkal antara lain: suku
Dayak (65%) (yang terdiri dari Dayak Tomuan, Dayak
Katingan, Dayak Kuhin/Seruyan), suku Banjar (5%), suku jawa (25%), suku Sunda
(1%), suku Bugis (2%), dan suku bangsa Flores (2%)
Sarana dan prasarana umum
Sarana dan prasarana umum yang ada di Desa bangkal
ini cukup memadai untuk menunjang peningkatan dan pengembangan kehidupan
masyarakat. Diantaranya adalah sarana ibadah,
pendidikan, kesehatan, dan rekreasi.
Sarana dan prasarana umum tersebut antara lain ;
Sekolah ( TK 2 buah, SD 3 buah, SMP 1 buah dan SMK 1 buah), Tempat ibadah
(Gereja 2 buah, Masjid 2 buah, Balai Basarah 2 buah), Kuburan 2 lokasi, Tempat
rekreasi (Dermaga 2 buah dan Rumah Betang 1 buah), Puskesmas 1 buah, Pospol (kantor polisi) 1 buah,
Pom Bensin I buah, dan berbagai rumah makan dan took-toko sudah sangat banyak
terdapat di desa ini.
Agama dan Kepercayaan
Mayoritas penduduk desa Bangkal adalah pemeluk agama
Hindu Kaharingan (80 %), pemeluk agama Islam (15 %) dan pemeluk agama Kristen
(5 %). Sehingga suasana religius agama Hindu Kaharigan[2]
di desa ini sangat kental terasa. Hubungan antar
pemeluk agama di desa ini juga terlihat sangat baik.
C.
Sumber
Ekonomi
Mata pencaharian
Tanaman karet merupakan jenis komoditas utama yang
dikembangkan oleh warga Bangkal. Meski dekat dengan
sumber air, jenis tanaman pangan seperti padi dan sayur-sayuran tidak banyak
dikembangkan di desa ini. Sumber mata pencaharian
utama dari penduduk adalah berprofesi sebagai penambang tradisional, petani
ladang, buruh perkebunan, nelayan, pedagang dan bergerak di sektor jasa.
Karakteristik pertanian warga bangkal adalah ladang
berpindah, dengan cara membakar lahan. Dan itu sudah dilakukan sejak
turun temurun, namun ketika ada pertaturan daerah yang melarang membakar lahan,
praktis sangat mengganggu aktifitas perladangan masyarakat, dalam proses
pembakaran abu yang dihasilkan dipercaya oleh masyarakat sebagai pupuk yang
baik untuk tanaman.
Secara khusus, sejak masuknya perkebunan sawit di
desa Bangkal dalam sepuluh tahun terakhir telah terjadi perubahan terhadap mata
pencaharian utama dari warga masyarakat. Tanah-tanah
pertanian yang subur yang awalnya dijadikan sandaran ekonomi utama telah berubah
menjadi areal Hak Guna Usaha (HGU) beberapa PBS kelapa sawit. Dengan demikian warga pun terpaksa beralih profesi mencari
sumber-sumber pendapatan lainnya termasuk menjadi buruh perkebunan, walaupun
tidak banyak yang bekerja di sektor ini, hanya sekitar 10-15 persen saja [3].
Data terakhir jumlah petani ladang yang mampu
bertahan hanya sebesar 20 %. Selebihnya, banyak yang
bekerja di sektor perdagangan dan jasa (± 52%) dan sisanya adalah Nelayan,
Pegawai Negri Sipil, TNI/ Polri serta pengangguran.
[2] Kaharingan/
Hindu Kaharingan adalah agama
atau kepercayaan asli suku Dayak Kalimantan Tengah. Kaharingan memiliki arti “tumbuh” atau “hidup”
seperti dalam istilah “Danum Kaharingan” ( air
kehidupan ) maksudnya agama atau kepercayaan terhadap tuhan
yang maha esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan
dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah.
Pemerintah RI
mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah
satu agama yang diakui oleh Negara. Oleh sebab itu
kepercayaan Kaharingan dan religi suku yang lainnya seperti Tollotang (Hindu
Tollotang) pada masyarakat suku Bugis, dimasukkan dalam kategori Agama hindu
sejak tanggal 20 April 1980, mengingat adanya persamaan dalam penggunaan sarana
kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama
Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai
tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan YME, hanya
berbeda kemasannya. Tuhan Yang Maha Esa dalam istilah agama
Kaharingan disebut Ranying.
Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh
Tokoh dayak Kalimantan Tengah Tjilik Riwut pada tahun
1944, saat itu Ia menjabat sebagai Residen Sampit yang berkedudukan di
Banjarmasin. Tahun 1945, saat pendudukan Jepang, ia
mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Sementara
pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu
Kaharingan. Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan
karena kesamaan ritualnya. Tapi dikarenakan Hindu
adalah agama tertua di Kalimantan.
Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat
ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan.
Kitab suci agama mereka adalah kitab Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar
(petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan
sebagainya.
Dewasa ini, suku Dayak sudah
diperbolehkan mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu tanda Penduduk.
Dengan demikian, suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan
menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut oleh
negara. Hingga tahun 2007, Badan Pusat Statistik
Kalteng mencatat ada 223.349 orang penganut Kaharingan di Indonesia.
Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan adalah : Majelis Besar Agama hindu Kaharingan (MBAHK), dan
pusatnya terdapat di kota Palangka Raya provinsi Kalimantan Tengah.
[3] Hasil wawancara dengan Bapak
Jasmadi, Sekretaris Desa Bangkal tanggal 14 Febuari 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar