Tahukah Anda?

2 Mar 2023

Kenertec (Korindo Group) Kalah dalam Persidangan di Jerman

Gagal Bungkam Aktivis Lingkungan menggunakan Gugatan SLAPP

Salah satu kegiatan rutin para aktivis lingkungan RdR dalam menyuarakan penyelamatan lingkungan.


“Selama lebih dari tiga tahun, gugatan ini membuat kami sibuk dan menyia-nyiakan waktu yang berharga. Bagi kami, ini adalah pertarungan antara David melawan Goliath. Kami juga melihat gugatan raksasa industri Korindo ini sebagai gugatan yang jahat yang dimaksudkan untuk mengintimidasi dan membungkam kami. Untung saja Korindo tidak berhasil dalam hal ini,” kata Bettina Behrend, Chairwomen Rettet den Regenwald e.V (Selamatkan Hutan Hujan).

“Korindo adalah salah satu perusahaan yang patut disalahkan atas sebagian besar deforestasi di Indonesia. Sebagian juga karena gugatan ini, kami telah melaporkan secara lebih mendalam tentang perusakan hutan hujan di Provinsi Papua. Melalui Gugatan ini Korindo sepertinya berniat untuk membungkam kami, tapi yang mereka dapatkan justru sebaliknya. Kami mendapat dukungan dari masyarakat Indonesia, sehingga mereka juga dapat melawan Korindo dan mempertahankan hutan dan wilayahnya dari konglomerasi bisnis ini,” lanjut Mariane Klute Co-Chairwoman Rettet den Regenwald e.V melalui press releease yang dikirmkannya melalui pesan teks kepada kami.


Pada tanggal 21 Februari 2023, RdR (Rettet den Regenwald e.V), sebuah organisasi lingkungan di Jerman, berhasil memenangkan persidangan melawan perusahaan Indonesia setelah tiga tahun menghadapi gugatan SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang diajukan oleh Kenertec (Korindo Group) di Pengadilan Tinggi Regional Hamburg, Jerman.

Baca : Kanertec-Korindo Grup Layangkan SLAPP Ke LSM Jerman. https://saveourborneo.org/kanertec-korindo-grup-layangkan-slapp-ke-lsm-jerman/

Gugatan ini bermula dari keberatan Kernetec sebuah Perusahaan yang bergerak pada bidang energi terhadap laporan yang disampaikan oleh sembilan LSM, termasuk RdR, tentang tindakan pelanggaran lingkungan kepada kolega bisnisnya. Sembilan LSM ini melaporkan dan melayangkan keberatan tentang adanya perusakan hutan hujan di Papua melalui surat kepada Siemens dan Nordex perusahaan energi angin Jerman yang memiliki hubungan kerjasama dagang dengan Kanertec-Korindo Grup pada tahun 2016. Isi surat tersebut melaporkan adanya aktivitas pembakaran sisa kayu dari hasil pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit milik konglomerat Korindo Grup. Dari gugatan ini, RdR diancam dengan tuntutan denda sebesar 250.000 euro atau kurungan penjara selama 6 bulan. Selain itu, mereka juga diancam kurungan penjara selama 2 tahun apabila mengulangi perbuatan yang sama, yakni melaporkan aktivitas Kanertec-Korindo Grup.

Gugatan Kenertec-Korindo tersebut didaftarkan pada Pengadilan Tinggi Regional Hamburg pada tanggal 20 Desember 2019 dan Persidangan pertama digelar pada 22 Januari 2021 lalu. Gugatan tersebut diduga dilakukan untuk membungkam aktivis lingkungan dan mengintimidasi RdR. 

Gugatan ini telah memancing aksi solidaritas dukungan kepada RdR dari seluruh penjuru dunia baik perorangan ataupun organisasi. Tidak kurang dari dari 90 organisasi lingkungan dan hak asasi manusia dari Eropa, Amerika Latin, Afrika dan Asia menyatakan solidaritas mereka terhadap RdR : “Siapa pun yang dengan jahat menuntut aktivis dan organisasi yang bekerja untuk kemajuan sosial dan melindungi alam, itu sama saja sedang menyerang kita semua.” Bahkan dari kasus ini, RdR bersama organisasi-oraganisasi Lingkungan, organisai HAM dan lainnya di Eropa yang tergabung dalam Coalition Against SLAPP in Europe (CASE), pada tahun 2021 lalu menganugrahi Korindo dengan gelar “International Bully of the Year”.

RdR juga mendapatkan dukungan dari 218.652 pendukung yang turut menandatangani petisi https://www.rainforest-rescue.org/petitions/1241/protect-democracy-now-stop-abusive-lawsuits yang dibuat bersama untuk mendukung perjuangan yang dilakukan RdR.


SLAPP dan Praktiknya di Indonesia

SLAPP - Strategic Lawsuit Against Public Participation atau Gugatan Strategis Terhadap Partisipasi Publik dengan menggunakan instrumen hukum ini merupakan sebuah upaya pembungkaman, pembatasan partisipasi, dan kritik (publik) masyarakat yang  memperjuangkan hak atas lingkungan hidup. Sampai saat ini para pejuang lingkungan di Indonesia masih sering menjadi korban intimidasi bahkan kriminalisasi oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan-kepentingan para pemegang kekuasaan atau pun investor. Banyak aktivis maupun masyarakat yang berjuang untuk melindungi lingkungan justru dijebloskan ke penjara bahkan sampai kehilangan nyawa karenanya. Sementara, para perusak lingkungan seperti korporasi tetap bebas beraktivitas.

Sebenarnya di Indonesia telah tersedia Undang-Undang (UU) untuk mengatasi SLAPP. Hal tersebut tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH 32 Tahun 2009) Pasal 66 yang biasa juga dikenal dengan konsep Anti SLAPP.

Pada Pasal 66 tertulis, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Hal ini menunjukkan bahwa ada garansi imunitas terhadap masyarakat maupun pegiat lingkungan atas tuntutan hukum dalam bentuk apapun. Selain itu, UU ini juga menjamin hak dan akses bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sehingga seharusnya UU ini dapat menjadi jaminan bagi para pejuang lingkungan.

Meskipun begitu, nyatanya, UUPPLH 32 Tahun 2009 ini tidak sepenuhnya dilaksanakan. Sebab, permasalahan utamanya justru terdapat pada proses implementasi di level pemerintah dan aparatur penegak hukum. Menurut penulis, ada dua hal yang sering kali melatar belakangi penggunaan SLAPP lebih sering dibandingkan anti-SLAPP di Indonesia; kedua hal tersebut adalah upaya pembungkaman dan lemahnya pelaksanaan kewajiban dari pemerintah beserta aparat penegak hukumnya. Upaya pembungkaman, pembatasan partisipasi, dan kritik publik untuk para pejuang lingkungan di Negara ini masih sering dilakukan untuk kepentingan-kepentingan pengusaha. Hal ini mungkin untuk mengalihkan fokus perjuangan mereka sehingga waktunya habis mengurusi masalah kriminalisasi. Kedua, pemerintah beserta aparat penegak hukum yang tidak mau menjalankan kewajibannya dengan benar. Ini bisa disebabkan karena rendahnya pemahaman para aparatur ini terhadap implementasi aturan terkait atau mungkin saja adanya indikasi praktek korupsi di sana.


Kemenangan yang Penting

Kemenangan ini sangat penting, tidak hanya bagi RdR (Rettet den Regenwald e.V.) namun bagi seluruh pihak yang saat ini sedang memperjuangkan keadilan sosial dan lingkungan hidup. Kemenangan ini tercapai setelah gugatan SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang diajukan oleh Kernetec yang merupakan bagian dari raksasa perusahaan sawit Korindo untuk membungkam organisasi lingkungan berhasil diakhiri dengan kegagalan Korindo.

Meskipun telah memakan waktu lebih dari tiga tahun litigasi, persidangan berakhir tanpa penggugat berhasil menang. RdR tidak diwajibkan untuk mengeluarkan pernyataan maaf dan pencabutan laporan, mempublikasikan koreksi yang diminta, atau menghentikan aktivitasnya.

Dalam penyelesaian yang diputuskan oleh pengadilan, penggugat membatalkan semua klaim dan setuju untuk membayar tiga perempat dari biaya litigasi.

Bagi penulis, gugatan SLAPP adalah taktik yang digunakan oleh entitas yang berkuasa untuk mengintimidasi dan membungkam mereka yang menyuarakan pendapat mereka. Taktik ini dimaksudkan untuk mengekang debat publik dan mencegah advokasi untuk keadilan sosial dan lingkungan. Hasil dari kasus ini adalah kemenangan bukan hanya bagi RdR, tetapi bagi semua orang yang berdiri melawan kepentingan yang berkuasa.

Korindo adalah perusahaan minyak sawit yang terkenal karena dituduh melakukan praktik-praktik pengerusakan lingkungan yang meluas dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, salah satunya Propinsi Papua. RdR bersama sama berbagai organisasi lainnya telah menjadi kritikus yang cukup vokal atas praktik perusahaan, bekerja untuk mengungkap aktivitas perusakan lingkungan dan memperjuangkan perlindungan hutan hujan dan seluruh masyarakat tempatan yang bergantung pada hutan tersebut.

Kegagalan gugatan SLAPP Korindo terhadap RdR adalah bukti pentingnya kebebasan berbicara dan hak untuk memperjuangkan dunia yang lebih baik. Ini menunjukkan bahwa bahkan di hadapan oposisi yang kuat, suara mereka yang berjuang untuk keadilan dan lingkungan bisa didengar.

Kemenangan RdR dalam kasus ini adalah pengingat bahwa SLAPP adalah taktik intimidasi yang dapat dikalahkan melalui solidaritas dan dukungan dari masyarakat yang lebih luas. Ini adalah panggilan untuk tindakan bagi semua orang yang percaya pada pentingnya melindungi planet kita dan berdiri untuk kebenaran.

Penulis memberikan apresiasi kepada RdR atas keberanian dan ketekunannya dalam menghadapi kesulitan ini, dan kami berdiri bersama mereka dalam upaya mereka untuk melindungi hutan hujan dan komunitas yang bergantung padanya. Mari jadikan ini sebagai pelajaran bagi semua orang yang ingin membungkam mereka yang berjuang untuk kepentingan bersama: kami yakin, dimanapun keadilan akan selalu menang.
(SM508)

16 Okt 2022

Program Strategis Nasional Food Estate berpotensi gagal, Siapa paling di untungkan?

 Catatan Maret 2021; 

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 3 Maret tahun 2021 Perkumpuan Sawit Watch mengadakan sebuah diskusi tematik yang dilaksanakan secara daring. Kebetulan saya diminta menjadi salah satu pembicara/ narasumbernya bersama-sama dengan bang Ridwan Samosir dari Yayasan Petrasa dan Bang Fathurohman seorang pemerhati lingkungan di Kalteng. Selain kami bertiga, webinar itu juga menghadirkan beberapa tokoh sebagai penanggap, diantaranya Pak Agustinus Teras Narang, anggota DPD RI dari Kalteng, Bapak Muhammad Wahyu Agang, S.Hut,  M.P tim ahli KLHS Food Estate dan juga Pendeta Jimmy Sormin, M.A,  dari Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja Indonesia.

Acara ini sangat berkesesuaian dengan temuan terbaru Save Our Borneo bersama rekan-rekan media yang terus melakukan pemantauan/ monitoring diwilayah-wilayah yang dikembangkan dalam PSN-Food Estate di Kalimantan Tengah, dan didapati informasi adanya kegagalan pencapaian produksi padi di wilayah Kabupaten Pulang Pisau dan pengembangan komoditas singkong di wilayah Kabupaten Gunungmas Provinsi Kalimantan Tengah, walau hal ini dibantah oleh Kementerian Pertanian dan beberapa pihak lainnya. 

Dalam kesempatan itu kemarin saya menyampaikan beberapa hal terkait temuan hasil monitoring reguler yang kami lakukan, pada intinya pendapat saya masih sama sejak awal program ini akan dilaksanakan, bahwa jika program food estate ini terus dipaksakan maka potensi kegagalannya akan cutup tinggi, melihat pengalaman program PLG Sejuta hektar dahulu yang juga gagal total, selain karena ketidaksesuaian lahan dengan komoditas tanaman pangan yang akan dikembangkan, juga pelaksanaan proyek ini terkesan sangat dipaksakan, dan tergesa-gesa, tanpa didahului dengan kajian yang mendalam. Sejak awal kami menyatakan menolak program ini karena kami khawatir lahan-lahan terutama kawasan eks-PLG akan semakin terdegradasi, rusak dan semakin memperparah bencana (kabut asap akibat kebakaran kebakaran lahan saat kemarau dan banjir saat penghujan) di kawasan itu, kawasan gambut yang seharusnya dilakukan rehabilitasi dan dikembalikan pada fungsi alaminya, bukan justru malah dialokasikan untuk pertanian lagi.

Kanal-kanal di Lahan eks-PLG Sejuta Hektar.
doc. Save Our Borneo

Kemudian menurut saya untuk menilai proyek Food Estate ini gagal, kita bisa lihat salah satu indikatornya yakni hasil panen yang jauh dari target yang ditetapkan. Pemerintah sangat optimis menargetkan hasil panen padi 6-7 ton/Ha melalui program ini, namun realisasinya kurang dari itu bahkan untuk mencapai target yang biasa petani raih sebesar 3-4 ton/Ha saja tidak mampu. Selain itu, siklus tanam yang dirubah dengan melakukan percepatan waktu tanam untuk meraih target 3 kali panen dalam setahun juga berakibat pada gagalnya lahan garapan petani, hal ini selain tidak berkesesuaian dengan cuca diwilyah itu juga berpengaruh terhadap adanya serangan berbagai hama. 

Pembukaan Kawasan Hutan untuk digantikan dengan 
tanaman singkong di kabupaten Gunungmas. 
doc Save Our Borneo
Kemudian untuk PSN-Food Estate komoditi singkong yang sedang dijalankan di Wilayah Kabupaten Gunungmas. Wilayah yang dibuka berstatus Hutan Produksi (HP) dengan tutupan hutan masih bagus dengan potensi kayu yang cukup besar. Ketika hutan ini dibuka, yang menjadi pertanyaan kemana kayu-kayu yang memiliki nilai ekonomi ini akan dibawa? siapa yang akan mendapatkan keuntungan ini? 

Permasalahan lainnya bahwa proses pembukaan lahan yang sudah hampir 600 Ha ini tanpa didahului dengan kajian lingkungan sebagai dasar. Hingga saat ini publik bertanya-tanya bagaimana menyampaikan sejumlah persoalan atau pengaduan jika terjadi pelanggaran atau seandainya adanya kegagalan program ini. Mekanisme untuk ini yang belum ada, dan pasti penerima dampak terbesarnya nanti adalah warga sekitar. Saya pribadi melihat kawasan hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian (Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan) ini hanya akal-akal licik penguasa dan pengusaha yang tidak bertanggungjawab untuk menguasai lahan dan potensi kawasan khususnya di Kalimantan Tengah. Yang mana harusnya wilayah ini dilindungi untuk kepentingan bersama.

Kemudian setelah saya, giliran Bang Ridwan Samosir yang menyampaikan pendapatnya. Berikut pendapat narasumber dan penanggap lainnya yang saya kutip dari pers release Sawit Watch :

Ridwan Samosir, Sekretaris Eksekutif Yayasan PetrasaSumatera Utara. “Kami melakukan kunjungan ke lokasi food estate di Desa Ria-ria, Kabupaten Humbang Hasundutan. Hasil pemetaan yang kami lakukan bahwa kawasan food estate masuk ke dalam konsesi PT. Toba Pulp Lestari (TPL), dan senada dengan itu program food estate yang akan diusulkan oleh Pemerintah Daerah Kab. Dairi juga masuk ke dalam konsesi PT. Gruti. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa penggunaan lahan food estate masuk ke konsesi perusahaan besar? Ini patut dikritisi karena Sumatera Utara termasuk salah satu provinsi yang sangat rentan terjadinya konflik agraria,” ujar Ridwan.

“Selain itu, kasus yang terjadi di Humbang Hasundutan, dari 1.000 Ha program food estate, 215 Ha diantaranya diserahkan pengelolaannya kepada petani, namun sisanya akan diserahkan kepada pihak ketiga (785 Ha). Ada 10 perusahaan yang akan kemudian melakukan pengolahan ini. Jadi, kalau selama ini sumber pangan kita berasal petani, maka dengan program food estate akan ada pergeseran aktor: penyedia pangan nasional mulai dialihkan kepada industri dan korporasi,” terang Ridwan. 

“Selanjutnya, ketika program food estate berjalan maka perusahaan besar akan bersaing dengan petani lokal. Hal ini berpotensi timbulnya kesejangan antara petani lokal yang masih manual dengan korporasi yang memiliki infrastruktur dan sumber daya yang besar. Lalu, bagaimana dengan pasar? Bagaimana dengan petani lokal ketika mereka memasarkan produknya? Apakah hasil pertanian dari food estate tidak akan berdampak pada mereka? Pemerintah harus menjelaskan kepada publik khususnya kepada petani tentang akses pasar terhadap hasil produksi mereka. Pemerintah juga harus mempertimbangkan potensi perubahan dari petani mandiri menjadi buruh tani di masa depan,” tambah Ridwan.

FatkhurohmanPemerhati Lingkungan Kalimantan Tengah menyampaikan, “Dilihat dari sisi kelembagaan bahwa hadirnya food estate di dasari oleh kondisi krisis pangan akibat pandemi Covid-19, namun tidak ada kebijakan di level Kepres atau Inpres yang mengaturnya. Hal ini menurut saya merupakan masalah besar karena akan berdampak pada kerja-kerja yang terjadi parsial. Jika kita bercermin pada pelaksanaan program ini dan mengibaratkannya sebagai sebuah orkestra, maka yang muncul hanya ada suara bising cendrung gaduh semata. Hal ini karena semuanya berjalan secara parsial karena tidak ada conductor yang dapat mengatur menjadi irama yang harmonis. Di sisi kebijakan, Perda Tata Ruang Kalteng tidak menjadi rujukan dalam banyak hal termasuk program ini. Rekomendasi saya sederhana, marilah kita pertimbangkan manfaat yang lebih besar, resiko yang lebih kecil, dengan memastikan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat yang rentan terhadap dampak dari program ini, dan juga agar mitigasi berdampak efektif,” tambah Fatur. 

Pernyataan Penanggap :

Muhammad Wahyu AgangTim Ahli KLHS Food Estate Kalimantan Tengah menyampaikan bahwa “Pada dasarnya kami bersama dengan tim menjalankan proses KLHS Penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan di Kalteng, sesuai dengan tahapannya berdasarkan kebijakan yang ada tentunya dengan tidak meninggalkan proses partisipatif masyarakat. Sejumlah fakta implementasi food estate di sejumlah daerah ini sangat bermanfaat bagi kami. Kami sangat terbantu dengan laporan dan data dari lapang karena dapat kami tuangkan dalam proses penyusunan KLHS. Harapannya proses deliberatif melalui KLHS ini dapat kita kawal bersama sehingga menjadi pembelajaran. Kegagalan masa lalu akan menjadi masukan bagi kita kedepan,” ujar Wahyu.

Pdt., Jimmy Sormin, M. A,  dari Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia berpendapat bahwa, “Jika benar perhitungannya program ini akan justru merugikan banyak pihak serta proses yang salah sejak awal, hulu hilirnya, kami mengkhawatirkan program ini hanya akan menguntungkan segelintir kelompok saja. Sehingga program ini hanyalah sebuah kebohongan yang akan menciptakan kebohongan lain serta menciptakan dosa berulang dengan daya rusak yang semakin bertambah. Berangkat pula dari kegagalan proyek nasional jauh sebelumnya di Kalimantan dan Papua. Melihat sejumlah persoalan ini rekomendasi kami bagi pemerintah dan pihak terkait adalah perlu untuk melihat dan mengkaji program ini, kiranya semangat ‘memberdayakan’ petani tidak berubah menjadi ‘memperdaya’ petani dan ‘memperdaya’ anggaran negara. Jika ingin menjadi bangsa ini diberkati dan program food estate ini juga diberkati, mulai dari niatan sampai dengan pelaksanaan haruslah dipenuhi dengan kejujuran dan asas-asas yang mendukung dan memuliakan makhluk dan merayakan kehidupan. Kita harus menjadi manusia utuh yang berlaku adil dan hidup dalam berkelanjutan,” terang Jimmy.

Agustinus Teras NarangSenator DPD RI Kalteng mengatakan, “Program food estate menjadi penting dan perlu untuk didukung namun dengan catatan adanya prinsip keberlanjutan didalamnya. Artinya program ini harus memenuhi aspek keselamatan ekologi, sosial budaya dan ekonomi masyarakat di lokasi pengembangannya. Selain itu, karena program ini melibatkan lintas kementerian, saya mencoba mendorong ada payung hukum yang jelas untuk mengatur semua pihak. Perlu adanya sebuah badan otorita pangan yang mengawal dan memimpin agenda ini, agar lebih dapat fokus dalam membangun sinergitas kepentingan antar kementerian, termasuk pemda dan masyarakat. Secara umum pelaksanaan program ini perlu menjadi perhatian dan dievaluasi. Saya berpandangan kita harus tetap kritis yang konstruktif tentunya serta memiliki semangat untuk membangun kepentingan dan tujuan bersama, tegas Teras.

link video kegiatan webinar ini dapat di lihat di youtube : 



Anda peduli upaya penyelamatan Hak Rakyat dan Hutan Kalimantan? silahkan berikan donasi anda

www.paypal.me/SafrudinM